BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Di dalam masyarakat pertanian terdapat
suatu pola interaksi. Dan pola interaksi tersebut berubah dari waktu ke waktu,
yang disebabkan oleh berbagai faktor. Pengelolaan usaha pertanian tersebut
mempunyai hubungan yang erat dengan perubahan sosial, yang selanjutanya akan
mempunyai dampak positif maupun negatif. Berikut akan dijelaskan berbagai
perubahan sosial yang erat kaitannya dengan usaha pertanian di Indonesia.
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1 Apa
pengertian dari perubahan sosial atau globalisasi?
1.2.2 Apa
saja bentuk-bentuk perubahan sosial di masyarakat?
1.2.3 Bagaimana
pengelolaan usahatani sebelum terjadi perubahan sosial?
1.2.4 Bagaimana
perubahan sosial memberi dampak pada pengelolaan usahatani di Indonesia?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui
pengertian sebenarnya dari perubahan sosial.
1.3.2 Mengetahui
bentuk-bentuk dari perubahan sosial yang ada di masyarakat.
1.3.3 Mengetahui
tentang pengelolaan usahatani sebelum terjadi perubahan sosial.
1.3.4 Mengetahui
tentang dampak yang diberikan oleh perubahan sosial terhadap pengelolaan
usahatani di Indonesia.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Pengertian
Perubahan Sosial
Menurut ”Gillin and Gillin”, perubahan sosial adalah suatu
variasi dan cara-cara hidup yang telah diterima baik karena
perubahan-perubahan kondisi geografis,kebudayaan, komposisi penduduk, ideologi
maupun karena adanya difusi (penemuan-penemuan baru dalam masyarakat).
William
F.Ogburn mengemukakan bahwa “ruang
lingkup perubahan-perubahan sosial meliputi
unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun yang immaterial, yang
ditekankan adalah pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan material terhadap
unsur-unsur immaterial”.
Kingsley
Davis mengartikan “perubahan
sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat”.
MacIver mengatakan “perubahan-perubahan sosial merupakan sebagai perubahanperubahan
dalam hubungan sosial (social relationships) atau sebagai
perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial”.
JL.Gillin dan JP.Gillin
mengatakan “perubahan-perubahan
sosial sebagai
suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena
perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi
penduduk, idiologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan
baru dalam masyarakat”.
Samuel Koenig mengatakan bahwa
“perubahan sosial menunjukkan
pada modifikasimodifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia”.f.
Definisi lain adalah dari Selo Soemardjan. Rumusannya adalah “segala
perubahanperubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu
masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya
nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam
masyarakat”.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian perubahan sosial adalah perubahan
perubahan yang terjadi pada masyarakat yang mencakup perubahan dalam
aspek-aspek struktur dari suatu masyarakat, ataupun karena terjadinya perubahan
dari faktor lingkung an, karena berubahnya komposisi penduduk, keadaan
geografis, serta berubahnya sistem hubungan sosial, maupun perubahan pada
lembaga kemasyarakatannya.
2.2 Bentuk-bentuk
Perubahan Sosial di Masyarakat
2.2.1
Perubahan yang cepat dan perubahan yang lambat.
Perubahan sosial
yang berlangsung dengan cepat, pada umumnya disebut dengan revolusi. Hal yang
pokok dari revolusi adalah terdapatnya perubahan yang terjadi dengan cepat,
disamping itu perubahan tersebut menyangkut dasar-dasar atau sendi-sendi pokok
dari kehidupan manusia. Perubahan yang terjadi secara revolusi dapat direncanakan
terlebih dahulu ataupun tidak direncanakan.
Perubahan yang terjadi secara revolusi,
sebenarnya kecepatan berlangsungnya perubahan adalah relatif, dikarenakan ada
suatu revolusi yang berlangsung lama. Misal, Revolusi Industri di Inggris yaitu
perubahan-perubahan yang terjadi dari proses produksi tanpa mesin, hingga
proses produksi menggunakan mesin. Perubahan seperti ini dianggap perubahan
yang cepat, karena mengubah sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat, yaitu
adanya sistem hubungan antara buruh dan majikan.
Dapat dikatakan
telah terjadi suatu revolusi, bila telah memenuhi beberapa syarat yang
meliputi:
1. Harus
ada keinginan umum untuk mengadakan suatu perubahan. Di dalam masyarakat harus
ada perasaan tidak puas terhadap keadaan, dan harus ada suatu keinginan untuk
mencapai perbaikan dengan perubahan keadaan tersebut.
2. Adanya
seorang pemimpin atau sekelompok orang yang dianggap mampu memimpin masyarakat
tersebut.
3. Pemimpin
mana dapat menampung keinginan-keinginan masyarakat untuk kemudian merumuskan
serta menegaskan rasa tidak puas tadi menjadi program dan arah gerakan.
4. Pemimpin
tersebut harus dapat menunjukkan suatu tujuan pada masyarakat.
Artinya adalah bahwa tujuan tersebut terutama sifatnya kongkrit dan dapat
dilihat oleh masyarakat. Di samping itu diperlukan juga suatu tujuan yang
abstrak, misalnya perumusan suatu ideologi tertentu.
5. Harus
ada momentum, yaitu saat dimana segala keadaan dan faktor sudah tepat dan baik
untuk memulai suatu gerakan. Apabila momentum keliru maka revolusi dapat gagal,
contoh, Proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan revolusi yang momentumnya
amat tepat.
Sedangkan perubahan-perubahan sosial yang berlangsung lama, dan
merupakan serangkaian perubahan kecil yang saling mengikuti dengan lambat, hal
ini dinamakan dengan evolusi. Perubahan yang terjadi secara lambat atau
evolusi, biasanya terjadi tanpa adanya rencana dulu. Evolusi pada umumnya terjadi
karena usaha-usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan
kepentingan-kepentingan, keadaan-keadaan, dan kondisi-kondisi baru yang tumbuh
seiring dengan pertumbuhan masyarakat. Rangkaian perubahan-perubahan itu tidak
perlu sejalan dengan serangkaian peristiwa-peristiwa pada sejarah masyarakat
yang bersangkutan.
2.2.2
Perubahan Yang Besar dan Perubahan Yang kecil
Perubahan
sosial yang besar pada umumnya adalah
perubahan yang akan membawa pengaruh yang besar pada masyarakat. Misalnya
terjadinya proses industrialisasi pada masyarakat yang masih agraris. Di sini
lembaga-lembaga kemasyarakatan akan terkena pengaruhnya, yakni hubungan kerja,
sistem pemilikan tanah, klasifikasi masyarakat, dan yang lainnya.
Sedangkan perubahan sosial
yang kecil adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak
membawa akibat yang langsung pada masyarakat. Misalnya, perubahan bentuk
potongan rambut, tidak akan membawa pengaruhi yang berarti bagi masyarakat
secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan tidak akan menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan.
2.2.3
Perubahan Yang Direncanakan dan yang Tidak Direncanakan
Perubahan sosial yang direncanakan
adalah, perubahan yang terjadi di dalam masyarakat, dan hal ini terjadi karena
telah direncanakan terlebih dahulu oleh fihak-fihak yang menginginkan adanya
perubahan. Pihak yang menginginkan adanya perubahan itu disebut: dengan agent
of change atau agen pembaharu. Agent of change adalah seorang atau sekelompok
orang yang memimpin masyarakat dalam merubah sistem sosial yang ada. Tentunya
agent of change ini sudah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat untuk
memimpin adanya suatu perubahan. Agent of change selalu mengawasi jalannya perubahan
yang dikehendaki atau direncanakan itu.
Sedangkan perubahan sosial yang tidak
direncanakan adalah terjadinya perubahan-perubahan
yang tidak direncanakan atau dikehendaki, dan terjadi diluar pengawasan
masyarakat dan dapat menimbulkan akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan
masyarakat. Misalnya, terjadinya musim kemarau yang berkepanjangan dan
berakibat sulitnya mendapatkan penghasilan yang cukup hingga membuat banyak
anggota masyarakat nekat melakukan tindakan-tindakan kriminal, hanya agar dapat
memenuhi kelangsungan hidupnya.
Perubahan yang dikehendaki dapat timbul
sebagai suatu reaksi terhadap perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan yang
terjadi pada waktu sebelumnya, baik itu merupakan perubahan yang direncanakan
ataupun tidak direncanakan. Terjadinya suatu perubahan yang direncanakan, maka
perubahan berikutnya merupakan perkembangan selanjutnya, hingga merupakan suatu
proses. Tetapi, bila sebelumnya telah terjadi perubahan-perubahan yang tidak
dikehendaki, maka perubahan yang dikehendaki dapat dianggap sebagai pengakuan
terhadap perubahan-perubahan sebelumnya, hingga dapat diterima oleh masyarakat
luas.
2.3 Teori
Perubahan Sosial
Perubahan social teerbatas pada
aspek-aspek hubungan social dan kesinambungan. Meskipun begitu perlu disadari
bahwa sesuatu perubahan dimasyarakat selamanya memiliki mata rantai diantaranya
elemen yang satu dan elemen yang lain dipengaruhi oleh elemen-elemen lainya.
Perubahan social dapat dilihat sari empat teori, yaitu teori kemunculan
dictator dan demokrasi, teori perilaku kolektif, teori inkonsestensi status dan
analisis organisasi sebagai subsistem sosial.
Perspektif
|
Penjelasan tentang
perubahan
|
Barrington Moore, teori
kemunculan dictator dan demokrasi
|
Teori ini didasarkan pada
pengamatan panjang tentang sejarah pada beberapa nnegara yang telah mengalami
transformassi dari basis ekonomi agrarian menuju ekonomi basis industry
|
Teori perilaku kolektif
|
Teori dilandaskan
pemikiran Moore namun lebih menekankan pada proses perubahan daripada sumber
perubahan social
|
Teori inkonsistensi
|
Teori ini merupakan
representasi dari teori psikologi social. Pada teori ini, individu dipandang sebagai
bentuk ketidak konsistenan antara status individu dan grup dengan aktivitas
atau sikap yang didasarkan pada perubahan
|
Analisis organisasi
sebagai subsistem social
|
Alasan kemunculan teori
ini adalah anggapan bahwa organisasi terutama birokrasi dan organisasi
tingkat lanjut yang kompleks dipandang sebagai hasil transformasi social yang
muncul pada mesyarakat modern. Pada sisi lain, organisasi meningkatkan
hambatan antara sistem sosial dan sistem interaksi
|
2.3.1 Teori
Barrington Moore
Teori yang disampaikan oleh Barrington Moore berusaha
menjelaskan pentingnya faktor struktural dibalik sejarah perubahan yang terjadi
pada negara-negara maju. Negara-negara maju yang dianalisis oleh Moore
adalah negara yang telah berhasil melakukan transformasi dari negara
berbasis pertanian menuju negara industri modern. Secara garis besar proses
transformasi pada negara-negara maju ini melalui tiga pola, yaitu demokrasi,
fasisme dan komunisme.
Demokrasi merupakan suatu bentuk tatanan politik yang
dihasilkan oleh revolusi oleh kaum borjuis. Pembangunan ekonomi pada negara
dengan tatanan politik demokrasi hanya dilakukan oleh kaum borjuis yang terdiri
dari kelas atas dan kaum tuan tanah. Masyarakat petani atau kelas bawah hanya
dipandang sebagai kelompok pendukung saja, bahkan seringkali kelompok bawah ini
menjadi korban dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara tersebut.
Terdapat pula gejala penhancuran kelompok masyarakat bawah melalui revolusi
atau perang sipil. Negara yang mengambil jalan demokrasi dalam proses
transformasinya adalah Inggris, Perancis dan Amerika Serikat.
Berbeda halnya demokrasi, fasisme dapat berjalan melalui
revolusi konserfatif yang dilakukan oleh elit konservatif dan kelas menengah.
Koalisi antara kedua kelas ini yang memimpin masyarakat kelas bawah baik di
perkotaan maupun perdesaan. Negara yang memilih jalan fasisme menganggap
demokrasi atau revolusi oleh kelompok borjuis sebagai gerakan yang rapuh dan
mudah dikalahkan. Jepang dan Jerman merupakan contoh dari negara yang mengambil
jalan fasisme.
Komunisme lahir melalui revolusi kaun proletar sebagai
akibat ketidakpuasan atas usaha eksploitatif yang dilakukan oleh kaum feodal dan
borjuis. Perjuangan kelas yang digambarkan oleh Marx merupakan suatu bentuk
perkembangan yang akan berakhir pada kemenangan kelas proletar yang selanjutnya
akan mwujudkan masyarakat tanpa kelas. Perkembangan masyarakat oleh Marx
digambarkan sebagai bentuk linear yang mengacu kepada hubungan moda produksi.
Berawal dari bentuk masyarakat primitif (primitive communism) kemudian
berakhir pada masyarakat modern tanpa kelas (scientific communism).
Tahap yang harus dilewati antara lain, tahap masyarakat feodal dan tahap
masyarakat borjuis. Marx menggambarkan bahwa dunia masih pada tahap masyarakat
borjuis sehingga untuk mencapai tahap “kesempurnaan” perkembangan perlu
dilakukan revolusi oleh kaum proletar. Revolusi ini akan mampu merebut semua
faktor produksi dan pada akhirnya mampu menumbangkan kaum borjuis sehingga akan
terwujud masyarakat tanpa kelas. Negara yang menggunakan komunisme dalam
proses transformasinya adalah Cina dan Rusia.
2.3.2 Teori
Perilaku Kolektif
Teori perilaku kolektif mencoba menjelaskan tentang
kemunculan aksi sosial. Aksi sosial merupakan sebuah gejala aksi bersama yang
ditujukan untuk merubah norma dan nilai dalam jangka waktu yang panjang. Pada
sistem sosial seringkali dijumpai ketegangan baik dari dalam sistem atau luar
sistem. Ketegangan ini dapat berwujud konflik status sebagai hasil dari
diferensiasi struktur sosial yang ada. Teori ini melihat ketegangan sebagai
variabel antara yang menghubungkan antara hubungan antar individu seperti peran
dan struktur organisasi dengan perubahan sosial.
Perubahan pola hubungan antar individu menyebabkan adanya
ketegangan sosial yang dapat berupa kompetisi atau konflik bahkan konflik
terbuka atau kekerasan. Kompetisi atau konflik inilah yang mengakibatkan adanya
perubahan melalui aksi sosial bersama untuk merubah norma dan nilai.
2.3.3 Teori
Inkonsistensi Status
Stratifikasi sosial pada masyarakat pra-industrial belum
terlalu terlihat dengan jelas dibandingkan pada masyarakat modern. Hal ini
disebabkan oleh masih rendahnya derajat perbedaan yang timbul oleh adanya
pembagian kerja dan kompleksitas organisasi. Status sosial masih terbatas pada
bentuk ascribed status, yaitu suatu bentuk status yang diperoleh
sejak dia lahir. Mobilitas sosial sangat terbatas dan cenderung tidak ada.
Krisis status mulai muncul seiring perubahan moda produksi agraris menuju moda
produksi kapitalis yang ditandai dengan pembagian kerja dan kemunculan
organisasi kompleks.
Perubahan moda produksi menimbulkan masalah yang pelik
berupa kemunculan status-status sosial yang baru dengan segala keterbukaan
dalam stratifikasinya. Pembangunan ekonomi seiring perkembangan kapitalis
membuat adanya pembagian status berdasarkan pendidikan, pendapatan, pekerjaan
dan lain sebagainya. Hal inilah yang menimbulkan inkonsistensi status pada individu.
BAB
III
PERMASALAHAN
3.1 Globalisasi
yang Terjadi dalam Masyarakat
Perubahan sosial melewati beberapa
tahap, diantaranya:
1. Invensi, yaitu suatu situasi atau
kondisi seseorang untuk bisa menciptakan ide.Ide tersebut bisa datang dari
bahan pustaka, penelitian orang lain atau tulisan orang lain.
2. Adopsi, yaitu suatu proses yang
menunjukkan bahwa informasi tersebut bisa diterimaoleh individu maupun
masyarakat.
3. Konsekuensi, yaitu keadaan
individu atau masyarakat untuk bisa menerima ataumenolak terhadap perubahan
tersebut.Proses perubahan masyarakat (sosial change) terjadi karena manusia
adalahmakhluk yang berfikir dan bekerja. Selain itu manusia juga selalu
berusaha untuk memperbaiki nasibnya dan sekurang-kurangnya berusaha untuk
mempertahankan hidupnya. Dalam keadaan demikian, terjadilah sebab-sebab
perubahan (menurut ”Robert L.Sutherland, dkk.) yaitu :
1. Inovasi
(penemuan baru/perubahan)
2. Invensi (penemuan baru)
3. Adaptasi (penyesuaian secara sosial
dan budaya)
4. Adopsi (penggunaan
dari penemuan baru/teknologi).
Telah dinyatakan, bahwa perubahan
masyarakat dalam abad ini terutama disebabkan oleh kemajuan teknologi yang
tidak lain merupakan hasil kemajuan ilmu pengetahuan (mental) manusia itu
sendiri.
Jadi, sekarang manusia harus
mengikuti perubahan teknologi dengan akibat
peradaban masyarakatnya tanpa mengarahkannya pada kemunduran
(regress) tetapi menjadikannya suatu kemajuan (progress) untuk manusia.
Selanjutnya, tidak semua penemuan baru/modernisasi mengalami penyebaran (diffusion) dan penggunaan (adoption), sehingga karenanya kemajuan teknologikadang-kadang
juga tidak mengakibatkan perubahan masyarakat.
Salah satu dasar agar perubahan
masyarakat dan kemajuan teknologi dapat dipergunakan untuk kemajuan sosial
adalah penggunaan penemuan baru diadakan dalam masyarakat yang sudah disiapkan untuk mengadakan kemajuanmasyarakat yang diinginkan.
3.2 Pengelolaan
Usahatani di Indonesia Sebelum Terjadi Globalisasi
Di Indonesia, dan khususnya di Jawa, aktivitas gotong-royong
biasanya tidak hanya menyangkut lapangan bercocok-tanam saja, tetapi juga menyangkut
lapangan kehidupan sosial lainnya seperti:
1.
Dalam hal kematian, sakit,
atau kecelakaan, di mana keluarga yang sedang menderita itu mendapat
pertolongan berupa tenaga dan benda dari tetangga-tetangganya dan orang-orang
lain sedesa.
2.
Dalam hal pekerjaan sekitar
rumah tangga, misalnya memperbaiki atap rumah, mengganti dinding rumah,
membersihkan rumah dari hama tikus, menggali sumur, dan sebagainya, untuk mana
pemilik rumah dapat minta bantuan tetangga-tetangganya yang dekat, dengan
memberi jamuan makan.
3.
Dalam hal pesta-pesta,
misalnya pada waktu mengawinkan anaknya, bantuan tidak hanya dapat diminta dari
kaum kerabatnya, tetapi juga dari tetangga-tetangganya, untuk persiapan dan
penyelenggaraan pestanya.
4.
Dalam mengerjakan pekerjaan
yang berguna untuk kepentingan umum dalam masyarakat desa, seperti memperbaiki
jalan, jembatan, bendungan irigasi, bangunan umum dan sebagainya, untuk mana
penduduk desa dapat tergerak untuk bekerja bakti atas perintah dari kepala desa.
3.3 Pengaruh
Perubahan Sosial Terhadap Pengelolaan Usahatani di Indonesia
Masa kini, terutama dalam produksi bercocok-tanam terjadi proses pergeseran dari cara pengarahan
tenaga bantuan di luar rumah-tangga
dengan gotong-royong ke cara dengan menyewa buruh. Proses pergeseran itu dalam
bercocok-tanam di Jawa menurut para ahli
pertanian Belanda sudah dimulai dalam tahun 30-an
(Kolff, 1937).
Akhir-akhir ini timbul keadaan dimana di banyak tempat di Jawa, adat
para petani pemilik tanah untuk membagi hasil panen mereka dengan buruh tani
mulai mencapai batas kemampuannya. Selain itu banyaknya pekerja atau buruh tani
di suatu lahan juga menjadi pemandangan baru dalam pengelolaan usahatani. Empatpuluh hingga limapuluh tahun yang lampau
jumlah pemotong padi yang beramai-ramai datang untuk membantu
menuai padi tidak pernah lebih dari 15 orang. Mereka membantu dengan semangat
gotong-royong dan menurut adat boleh membawa pulang sebagian dari jumlah padi
yang mereka potong. Bagian yang diperoleh para kerabat, tetangga, dan buruh
pemotong tadi disebut dengan istilah adat Jawa, bawon.
Pada zaman sekarang, di mana jumlah kerabat, tetangga, kenalan dan
buruh yang datang membantu memotong padi itu sudah sekitar 40 orang, tentu
sangat berat bagi petani pemilik sawah itu untuk mempertahankan adat
berdasarkan sistem gotong-royong bawon itu. Oleh karena itu buruh wanita
pemotong padi sekarang tidak menerima lebih dari seperduapuluh bagian
dari padi yang berhasil mereka potong. Walaupun demikian, jumlah buruh tani
seperti itu tetap saja bertambah banyak jumlahnya di masyarakat pedesaan di
Jawa.
Secara sangat radikal, sejak kira-kira sepuluh tahun yang lalu, di
banyak tempat di Jawa telah timbul sistem pengerahan tenaga panen yang baru,
yang dengan cepat telah mulai menghapuskan adat panen berdasarkan gotong-royong
yang disebut adat bawon terurai di atas. Menurut sistem baru yang
disebut sistem tebasan itu, seorang petani pemilik usaha tani menjual
sebagian besar padinya yang sudah menguning kepada seorang pedagang dari luar
desa yang akan mengusahakan pemotongan padinya. Pedagang yang juga disebut penebas
ini akan datang pada waktunya dengan
buruh pemotong padinya sendiri yang juga berasal dari desa lain, yang jumlahnya tidak
lebih dari empat-lima orang. Mereka membabat padi di sawah dengan sangat
efisien dengan menggunakan arit atau sabit.
Contoh lain dari proses
tergesernya adat gotong-royong oleh sistem baru dengan menyewa buruh tani
wanita adalah adat menumbuk padi secara tradisional. Kira-kira sepuluh tahun
yang lalu seorang petani akan meminta pertolongan para isteri tetangga atau
kenalan-kenalannya untuk menumbuk padinya. Mereka itu akan menerima sebagian
dari padi yang mereka tumbuk sebagai
kompensasi atas bantuan mereka. Juga sejak kira-kira sepuluh tahun yang lalu
masyarakat desa di Indonesia mulai mengenal mesin huller, yaitu mesin
kecil penggiling padi yang dapat dibeli oleh petani-petani yang kaya. Para
petani ini tidak hanya memakai mesin seperti itu untuk keperluan mereka sendiri, tetapi sering juga
menyewakannya kepada petani-petani lain. Dengan menggunakan mesin huller itu
padi dapat digiling secara efisien, tetapi sebaliknya para isteri tetangga dan
buruh tani wanita yang biasanya diminta atau dipanggil untuk membantu
menggiling padi itu dengan adanya mesin itu kehilangan suatu mata pencaharian
tambahan.
Proses pergeseran dari
cara pengerahan tenaga tani dan sistem gotong-royong menjadi sistem menyewa
buruh tani, antara lain terdorong oleh murahnya tenaga buruh tani, terutama di
Jawa.
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Perubahan sosial dapat dikatakan sebagai suatu
perubahan dari gejala-gejala sosial yang ada pada masyarakat, dari yang
bersifat individual sampai yang lebih kompleks. Bentuk-bentuk dari Perubahan sosial ada yang cepat dan
ada yang lambat , adapula perubahan yang besar dan perubahan yang kecil , dan Perubahan
yang direncanakan dan yang tidak direncanakan.
Pengelolaan
Usahatani di Indonesia Sebelum Terjadi Globalisasi di
Indonesia, dan khususnya di Jawa, aktivitas gotong-royong biasanya tidak hanya
menyangkut lapangan bercocok-tanam saja, tetapi juga menyangkut
lapangan kehidupan sosial lainnya.
Dampak
pada pengelolaan usahatani di Indonesia karena adanya perubahan sosial
diantaranya dari pergeseran cara pengerahan tenaga tani dan sistem gotong-royong menjadi
system menyewa buruh tani .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar