BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Ilmu ekonomi Pertanian merupakan cabang ilmu yang relatif
baru. Bila ilmu ekonomi modern dianggap lahir bersamaan dengan penerbitan karya
Adam Smith yang berjudul The Wealth of Nation pada tahun 1776 di
Inggris, maka ilmu ekonomi pertanian baru dicetuskan untuk pertamakalinya pada
awal abad 20, tepatnya setelah terjadi depresi pertanian di Amerika pada tahun
1890. Di Amerika Serikat sendiri mata kuliah Rural Economics mula-mula
diajarkan di Universitas Ohio pada tahun 1892, menyusul kemudian
Universitas Cornell yang memberikan mata kuliah Economics of
Agriculture pada tahun 1901 dan Farm Management pada tahun 1903.
Sejak tahun 1910 beberapa universitas di Amerika Serikat telah memberikan
kuliah-kuliah ekonomi pertanian secara sistematis. Di Eropa ekonomi pertanian
dikenal sebagai cabang dari ilmu pertanian. Penggubah ilmu ekonomi pertanian di
Eropa adalah Von Der Goltz yang menuliskan buku Handbuch der
Landwirtshaftlichen Bertriebslehre pada tahun 1885 (Mubyarto, 1979).
Di Indonesia mata kuliah ekonomi pertanian pada awalnya
diberikan pada fakultas-fakultas pertanian dengan tradisi pengajaran Eropa oleh
para Guru Besar Ilmu Pertanian antara lain Prof. Iso Reksohadiprojo dan Prof.
Ir. Teko Sumodiwirjo. Pada perkembangan berikutnya ilmu ekonomi pertanian
semakin memperoleh tempat setelah pembentukan Perhimpunan Ekonomi Pertanian
Indonesia (Perhepi) pada bulan Februari 1969 di Ciawi, Bogor. Sejak itu
pengakuan atas profesi baru ini berlangsung makin cepat sejalan dengan
dilaksanakannya Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita I) yang dicanangkan
pada tanggal 1 April 1969.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
ciri-ciri pertanian di Indonesia?
2. Bagaimana
isu aktual ekonomi pertanian di Indonesia?
3. Apa
saja faktor –faktor kelembagaan dalam ekonomi pertanian?
4. Apa
sajakah sumber daya pertanian itu?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui
ciri-ciri pertanian di Indonesia
2. Mengetahui
isu aktual ekonomi pertanian di Indonesia
3. Mengetahui
faktor kelembagaan dalam ekonomi pertanian
4. Mengetahui
sumber daya pertanian
BAB
II
Ekonomi Pertanian di Indonesia
2.1 Peran Ekonomi Pertanian
Aplikasi ilmu ekonomi di sektor pertanian dalam kompleksitas
perekonomian pasar tentunya melibatkan beragam aktivitas baik di level mikro
maupun makro ekonomi. Pada level mikro pakar ekonomi produksi pertanian umumnya
memberikan kontribusi dengan meneliti permintaan input dan respon suplai.
Bidang kajian pakar pemasaran pertanian terfokus pada rantai pemasaran bahan
pangan dan serat dan penetapan harga pada masing-masing tahap. Pakar pembiayaan
ekonomi pertanian mempelajari isu-isu yang erat kaitannya dengan
pembiayaan bisnis dan suplai modal pada perusahaan agrobisnis. Sedangkan pakar
ekonomi sumberdaya pertanian berperan pada bidang kajian tentang pemanfaatan
dan pelestarian sumberdaya alam. Pakar ekonomi lainnya mempelajari penyusunan
program pemerintah atas suatu komoditi dan dampak penetapan kebijakan
pemerintah baik terhadap konsumen maupun produsen produk pertanian.
Dalam pembangunan
ekonomi, terutama pada tahap-tahap awal pembangunan, sektor pertanian
diharapkan tumbuh pesat dan menghasilkan surplus yang besar sebagai prasyarat
untuk memulai transformasi ekonomi. Pertumbuhan sektor pertanian yang cepat
akan mendorong permintaan sektor non pertanian karena adanya peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan petani. Peningkatan permintaan sektor non
pertanian tidak hanya akan terjadi pada produk-produk konsumsi langsung tetapi
terjadi juga untuk produk-produk non pertanian sebagai input usahatani maupun
untuk investasi (Tomich et al., 1995 dalam Harianto, 2000). Artinya
pertumbuhan sektor pertanian akan mendorong pertumbuhan sektor industri, baik
industri hilir seperti industri pangan, minuman, tekstil, dan obat-obatan,
maupun industri hulu seperti pupuk, pestisida termasuk industri mesin
pertanian. Berkembangnya sektor industri juga menyebabkan semakin baiknya
infrastruktur serta kemampuan manajerial sumberdaya manusia.
Pada level makro minat para pakar terarah pada bagaimana
agribisnis dan sektor pertanian pada umumnya mempengaruhi perekonomian domestik
dan dunia. Selain itu juga dipelajari bagaimana kejadian-kejadian khusus atau
penetapan kebijakan tertentu di pasar uang dapat mempengaruhi fluktuasi harga
bahan pangan dan serat alam. Untuk kepentingan ini, biasanya ekonom menggunakan
pendekatan formulasi model berbasis analisis komputerisasi.
Peranan penting sektor
pertanian dalam perekonomian suatu negara antara lain, sebagai:
1. penyedia
bahan pangan yang diperlukan masyarakat untuk menjamin ketahanan pangan,
2. penyedia bahan baku bagi sektor industri,
3. sebagai
pasar potensial bagi produk-produk industri, contohnya: industri pupuk dan
pestisida,
4. sumber
tenaga kerja dan pembentukan modal yang diperlukan bagi pembangunan sektor
lain,
5. sumber
perolehan devisa karena produk pertanian merupakan komoditi ekspor,
6. mengurangi
kemiskinan,
7. pelestarian
lingkungan hidup dan kontributor pembangunan pedesaan (Tambunan, 2001).
Pengukuran atas peranan suatu sektor dalam perekonomian dapat dilihat dari penyerapan
tenaga kerja, kontribusi terhadap penciptaan PDB (produk domestik bruto),
kontribusi terhadap ekspor serta kontribusi terhadap konsumsi masyarakat.
2.2 Ciri-Ciri Pertanian
di Indonesia
1.
Pertanian
Tropika
Sebagian besar daerah di Indonesia berada di dekat
khatulistiwa yang berarti merupakan daerah tropika.
Dengan demikian jenis tanaman, hewan, perikanan, dan hutan sangat dipengaruhi
oleh iklim tropis (pertanian tropika). Di samping itu ada pengaruh lain yang
menentukan corak pertanian kita yaitu bentuk negara berkepulauan dan
topografinya yang bergunung-gunung.
Letaknya
yang di antara Benua Asia dan Australia serta antara Lautan Hindia dan Pasifik,
memberikan pengaruh pada suhu udara, arah angin yang berakibat adanya perbedaan
iklim di Indonesia, sehingga menimbulkan ciri pertanian Indonesia merupakan
kelengkapan ciri-ciri pertanian yang lain.
2.
Pertanian
Dataran Tinggi dan Rendah
Indonesia merupakan daerah volkano(memilikibanyak
gunung), sehingga memungkinkan mempunyai daerah yang mempunyai ketinggian dan
dataran rendah. Dataran tinggi mempunyai iklim dingin, sehingga bisa ditanami
tanaman beriklim subtropis.
3.
Pertanian Iklim
Basah ( Indonesia Barat) dan Pertanian Iklim Kering ( Indonesia Timur)
Indonesia merupakan daerah volkano(memilikibanyak
gunung), sehingga memungkinkan mempunyai daerah yang mempunyai ketinggian dan
dataran rendah. Dataran tinggi mempunyai iklim dingin, sehingga bisa ditanami
tanaman beriklim subtropis.
4.
Adanya Hutan
Tropika dan Padang Rumput
Karena iklimnya basah dan berada di daerah tropika
maka banyak hujan terbentuk hutan tropika, sedangkandidaerah kering tumbuh
padang rumput.
5.
Perikanan Darat
dan Laut
Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari
banyak pulau, sehingga daerahnya terdiri dari darat dan perairan. Keadaan ini
memungkinkan terdapatnya perikanan darat dan laut.
6.
Pertanian di
Jawa dan Luar Jawa
Daerah Jawa dan luar Jawa mempunyai pesifikasi yang berbeda, Jawa umumnya
tanah subur, penduduk padat, sedangkan luar Jawa umumnya tanah kurang subur,
penduduk jarang. Corak pertanian di jawa umumnya merupakan tanaman bahan
pangan, berskala kecil, sedangkan pertanian di luar jawa umumnya perupakan
perkebunan, kehutanan,berskala lebih luas.
- Pertania Rawa, Pertanian Darata/ Kering, Pertanian
Beririgasi/Basah
Daratan
Indonesia terbagi menjadi :
•tanah rawa
yaitu lahan yang tergenang sepanjang masa,
•lahan kering
yaitu lahan yang tidak mendapat air irigasi, dan
•pertanian basah
yaitu lahan yang beririgasi.
8.
Pertanian/tanah
sawah beririgasi, tadah hujan, sawah lebak, sawah pasang surut
Penggolongan
ini adalah penggolongan lahan yang ditanami padi. Sawah yang beririgasi
bersumberkan bendung sungai, dam/waduk, mata air, dll.
Berdasarkan
fasilitas teknisnya dibagi menjadi irigasi teknis, setengah teknis, dan
sederhana.
Lahan/sawah
tadah hujan sebenarnya juga mempunyai saluran irigasi tetapi sumber airnya
berasal dari air hujan.
Sawah
lebak mendapat air terus menerus sepanjang masa.
Sawah
pasang surut mendapat air dari air sungai yang pasang karena air laut yang
sedang pasang, sering juga terdapat saluran irigasi.
2.3
Faktor Kelembagaan dalam Ekonomi Pertanian
Kelembagaan pertanian
adalah norma atau kebiasaan yang terstruktur dan terpola serta dipraktekkan
terus menerus untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat yang terkait erat
dengan penghidupan dari bidang pertanian di pedesaan.
Dalam kehidupan komunitas petani, posisi dan fungsi kelembagaan
petani merupakan bagian
pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial atau social interplay dalam suatu
komunitas. Kelembagaan pertani juga memiliki titik strategis (entry point) dalam
menggerakkan sistem agribisnis di pedesaan. Untuk itu segala sumberdaya yang ada
di pedesaan perlu diarahkan/diprioritaskan dalam rangka peningkatan profesionalisme
dan posisi tawar petani (kelompok tani). Saat ini potret petani dan kelembagaan
petani di Indonesia diakui masih belum sebagaimana yang diharapkan (Suradisastra,
2008)
Peran kelembagaan dalam membangun dan mengembangkan sektor
pertanian di Indonesia
terutama terlihat dalam kegiatan pertanian tanaman pangan, khususnya padi. Di tingkat
makro nasional, peran lembaga pembangunan pertanian sangat menonjol dalam program dan
proyek intensifikasi dan peningkatan produksi pangan. Kegiatan pembangunan pertanian
dituangkan dalam bentuk program dan proyek dengan membangun
kelembagaan koersif (kelembagaan yang dipaksakan), seperti PadinSentra, Demonstrasi Massal
(Demas), Bimbingan Massal (Bimas), Bimas Gotong Royong, Badan Usaha Unit
Desa (BUUD), Koperasi Unit Desa (KUD), Insus, dan Supra Insus. Pada
subsector peternakan dikembangkan berbagai program dan lembaga pembangunan
koersif, seperti Bimas Ayam Ras, Intensifikasi Ayam Buras (Intab), Intensifikasi
Ternak Kerbau (Intek), dan berbagai program serta kelembagaan intensifikasi
lainnya. Kondisi di atas menunjukkan signifikansi keberdayaan kelembagaan dalam
akselerasi pembangunan sektor pertanian. Hal ini sejalan dengan hasil berbagai
pengamatan yang menyimpulkan bahwa bila inisiatif pembangunan pertanian dilaksanakan
oleh suatu kelembagaan atau organisasi, di mana individuindividu yang memiliki jiwa
berorganisasi menggabungkan pengetahuannya dalam tahap perencanaan dan
implementasi inisiatif tersebut maka peluang keberhasilan pembangunan pertanian
menjadi semakin besar (De los Reyes dan Jopillo 1986; USAID 1987; Kottak 1991;
Uphoff 1992a; Cernea 1993; Bunch dan Lopez 1994 dalam Sradisastra, 2011). Menurut Dimyati
(2007), permasalahan yang masih melekat pada sosok petani dan kelembagaan petani di
Indonesia adalah:
1.
Masih minimnya wawasan dan
pengetahuan petani terhadap masalah manajemen produksi maupun jaringan
pemasaran.
2.
Belum terlibatnya secara
utuh petani dalam kegiatan agribisnis. Aktivitas petani masih terfokus pada kegiatan
produksi (on farm).
3.
Peran dan fungsi kelembagaan
petani sebagai wadah organisasi petani belum berjalan secara optimal.
Untuk mengatasi permasalahan di atas
perlu melakukan upaya pengembangan,
pemberdayaan, dan
penguatan kelembagaan petani (seperti: kelompoktani, lembaga
tenaga kerja, kelembagaan penyedia input, kelembagaan output,
kelembagaan
penyuluh, dan
kelembagaan permodalan) dan diharapkan dapat melindungi bargaining position petani.
Tindakan perlindungan sebagai keberpihakan pada petani tersebut, baik sebagai produsen
maupun penikmat hasil jerih payah usahatani mereka terutama diwujudkan melalui
tingkat harga output yang layak dan menguntungkan petani. Dengan demikian, penguatan
dan pemberdayaan kelembagaan tersebut juga untuk menghasilkan pencapaian
kesinambungan dan keberlanjutan daya dukung SDA dan berbagai usaha untuk
menopang dan menunjang aktivitas kehidupan pembangunan pertanian di pedesaan
factor-faktor kelembagaan dalam
ekonomi pertanian
1.
lembaga=organisasi yang memiliki kaedah dan norma baik
formal maupun informal yang mengatur prilaku dan tindakan anggota masyarakat
tertentu dalam kaitan-kaitan rutin sehari-hari dan dalamm usahanya mencapai
tujuan
2.
administrasi pembangunan pertanian = koperasi, organisasi
pemakai air usaha meningkatkan pengetahuan petani penyulauhan, kelompok tani,
pelatihan, sekolah lapang
2.4
Sumberdaya Pertanian
Setidaknya terdapat empat macam sumber daya
pertanian, yaitu :
1.
Lahan
Lahan yang
dimaksud adalah tanah tempat petani menanam tanamannya. Kendala yang dihadapi
adalah persediaan tanah dalam masyarakat jumlahnya terbatas akibat pertumbuhan
penduduk tidak seimbang dengan ketersediaan tanah sehingga penngunaan lahan
pertanian berkurang akibat pembangunan atau harganya sangat mahal walaupun harganya
kadang-kadang naik-turun persediaan tanah tidak dapat ditambah, Transformasi
lahan pertanian produktif menjadi lahan kritis juga menjadi kendala, selain itu
kendala lainnya adalah lahan marginal, lahan tidur, fragmentasi lahan.
Solusi yang
dapat diambil adalah memfungsikan kembali lahan tidur dan mengendalikan alih
fungsi lahan pertanian dan serta status kepemilikan lahan yang jelas.
2.
Sumber daya alam
dan lingkungan selain lahan
Sumber daya
ini bisa meliputi ketersediaan air untuk pengairan, pemilihan bibit, factor
lingkungan dan kondisi geografis.
3.
Tenaga kerja
Tenaga
kerja merupakan faktor produksi dimana sumber daya manusia yang dapat ditinjau
dari feminim (tenaga kerja wanita dan pria), kualitas (terdidik, terampil,
ahli, kasar), lapangan kerja (pertanian, perikanan, lain-lain). Serta kendala
yang dihadapi adalah banyakanya petani yang masih bukan pekerja tetap akibat
lahan yang minim serta pengetahuan yang rendah serta jumlah petani yang sedikit
akibat upah yang kecil.
Solusinya
adalah petani harus memiliki ilmu
pengetahuan yang cukup agar dapat diperkerjakan secara tetap dan imbasnya gaji
juga cukup karena kualitas yang dimiliki.
4.
Modal dan
teknologi
Modal dan
teknologi yang memadai akan membantu dalam aktivitas pertanian seperti
pengolahan, penyiangan dan lain-lain untuk meninggkatkan produktivitas dan
menghemat waktu dan tenaga. Kendala modal yang sering dihadapi adalah petani
kecil relatif lebih memiliki akses terhadap lembaga perkreditan informal yang
menawarkan modal riil karena mudah dijangkau akan tetapi pada akhirnya petani
sendiri yang rugi karena system tersebut, solusinya adalah menyediakan akses
terhadap perkreditan formal karena memberi patokan harga yang ditentukan
lembaga formal pada pasar persaingan sempurna.. Sedangkan untuk teknologi
minimnya teknologi dan belum tersosialisai secara sempurna dalam hal
pengetahuan dan penggunaan teknologi tersebut. Pemerintah dapat berperan dalam
mensosilisasikan canggihnya teknologi dalam membantu meningkatkan produksi.
BAB
III
Study
Kasus dan Penyelesaian
3.1 KETIDAK BERDAYAAN PETANI
Problem mendasar bagi mayoritas petani
Indonesia adalah ketidakberdayaan dalam melakukan negosiasi harga hasil produksinya. Posisi tawar
petani pada saat ini umumnya lemah, hal ini merupakan salah satu kendala dalam usaha
meningkatkan pendapatan petani.
Menurut Branson dan Douglas (1983), lemahnya posisi tawar petani umumnya disebabkan
petani kurang mendapatkan/memiliki akses pasar, informasi pasar dan
permodalan yang kurang memadai. Petani kesulitan menjual hasil panennya karena tidak punya jalur
pemasaran sendiri, akibatnya
petani menggunakan sistim tebang jual. Dengan sistim ini sebanyak 40 % dari hasil
penjualan panenan menjadi milik tengkulak. Peningkatan produktivitas
pertanian tidak lagi menjadi jaminan akan memberikan keuntungan layak bagi petani tanpa adanya kesetaraan
pendapatan antara petani yang bergerak
di sub sistem on farm dengan pelaku agribisnis di sub sektor hulu dan hilir. Kesetaraan
pendapatan hanya dapat dicapai dengan peningkatan posisi tawar petani. Hal ini dapat
dilakukan jika petani tidak berjalan sendiri-sendiri, tetapi menghimpun kekuatan
dalam suatu lembaga yang betul-betul mampu menyalurkan aspirasi mereka. Oleh karena
itu penyuluhan pertanian harus lebih tertuju pada upaya membangun kelembagaan.
Lembaga ini hanya dapat berperan optimal apabila penumbuhan dan
pengembangannya dikendalikan sepenuhnya oleh petani sehingga petani harus menjadi
subjek dalam proses tersebut (Jamal, 2008). Peningkatan posisi tawar
petani dapat meningkatkan akses masyarakat pedesaan dalam kegiatan
ekonomi yang adil, sehingga bentuk kesenjangan dan kerugian yang dialami oleh
para petani dapat dihindarkan. Menurut Akhmad (2007), upaya yang harus dilakukan petani untuk
menaikkan posisi tawar petani adalah
dengan:
a.
Konsolidasi petani dalam
satu wadah untuk menyatukan gerak ekonomi dalam setiap rantai pertanian,
dari pra produksi sampai pemasaran. Konsolidasi tersebut pertama dilakukan dengan kolektifikasi semua proses dalam rantai
pertanian, meliputi kolektifikasi
modal, kolektifikasi produksi, dan kolektifikasi pemasaran. Kolektifikasi modal
adalah upaya membangun modal secara kolektif dan swadaya, misalnya dengan gerakan
simpan-pinjam produktif yang mewajibkan anggotanya menyimpan tabungan dan
meminjamnya sebagai modal produksi, bukan kebutuhan konsumtif. Hal ini dilakukan agar pemenuhan modal kerja
pada awal masa tanam dapat
dipenuhi sendiri, dan mengurangi ketergantungan kredit serta jeratan hutang
tengkulak.
b.
Kolektifikasi produksi,
yaitu perencanaan produksi secara kolektif untuk menentukan pola, jenis,
kuantitas dan siklus produksi secara kolektif. Hal ini perlu dilakukan agar dapat
dicapai efisiensi produksi dengan skala produksi yang besar dari banyak produsen.
Efisisensi dapat dicapai karena dengan skala yang lebih besar dan terkoordinasi
dapat dilakukan penghematan biaya dalam pemenuhan faktor produksi, dan
kemudahan dalam pengelolaan produksi, misalnya dalam penanganan hama dan
penyakit. Langkah ini juga dapat menghindari kompetisi yang tidak sehat di antara
produsen yang justru akan merugikan, misalnya dalam irigasi dan jadwal tanam.
c.
Kolektifikasi dalam
pemasaran produk pertanian. Hal ini dilakukan untuk mencapai efisiensi biaya
pemasaran dengan skala kuantitas yang besar, dan menaikkan posisi tawar
produsen dalam perdagangan produk pertanian. Kolektifikasi pemasaran
dilakukan untuk mengkikis jaring-jaring tengkulak yang dalam menekan posisi tawar
petani dalam penentuan harga secara individual. Upaya kolektifikasi tersebut
tidak berarti menghapus peran dan posisi pedagang distributor dalam rantai
pemasaran, namun tujuan utamanya adalah merubah pola relasi yang merugikan petani
produsen dan membuat pola distribusi lebih efisien dengan pemangkasan rantai
tata niaga yang tidak menguntungkan.
3.2 PERMASALAHAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PETANI
Petani jika berusahatani secara individu
terus berada di pihak yang lemah
karena petani secara
individu akan mengelola usaha tani dengan luas garapan kecil dan terpencar serta
kepemilikan modal yang rendah. Sehingga, pemerintah perlu memperhatikan penguatan
kelembagaan lewat kelompoktani karena dengan berkelompok maka petani
tersebut akan lebih kuat, baik dari segi kelembagaannya maupun permodalannya. Kelembagaan petani di
desa umumnya tidak berjalan dengan baik ini disebabkan (Zuraida dan
Rizal, 1993; Agustian, dkk, 2003; Syahyuti, 2003; Purwanto, dkk, 2007):
1.
Kelompoktani pada umumnya
dibentuk berdasarkan kepentingan teknis untuk memudahkan pengkoordinasian
apabila ada kegiatan atau program pemerintah, sehingga lebih bersifat
orientasi program, dan kurang menjamin kemandirian kelompok dan keberlanjutan
kelompok.
2.
Partisipasi dan kekompakan
anggota kelompok dalam kegiatan kelompok masih relatif rendah, ini
tercermin dari tingkat kehadiran anggota dalam pertemuan kelompok rendah (hanya
mencapai 50%)
3.
Pengelolaan kegiatan
produktif anggota kelompok bersifat individu. Kelompok sebagai forum kegiatan
bersama belum mampu menjadi wadah pemersatu kegiatan anggota dan
pengikat kebutuhan anggota secara bersama, sehingga kegiatan produktif individu
lebih menonjol. Kegiatan atau usaha produktif anggota kelompok dihadapkan pada
masalah kesulitan permodalan, ketidakstabilan harga dan jalur pemasaran yang
terbatas.
4.
Pembentukan dan pengembangan
kelembagaan tidak menggunakan basis social capital setempat dengan
prinsip kemandirian lokal, yang dicapai melalui prinsip keotonomian dan
pemberdayaan.
5.
Pembentukan dan pengembangan
kelembagaan berdasarkan konsep cetak biru (blue print approach) yang seragam. Introduksi kelembagaan dari
luar kurang memperhatikan
struktur dan jaringan kelembagaan lokal yang telah ada, serta kekhasan ekonomi,
sosial, dan politik yang berjalan.
6.
Pembentukan dan pengembangan
kelembagaan berdasarkan pendekatan yang top down, menyebabkan tidak
tumbuhnya partisipasi masyarakat.
7.
Kelembagaan-kelembagaan yang
dibangun terbatas hanya untuk memperkuat ikatan horizontal, bukan ikatan vertikal. Anggota suatu
kelembagaan terdiri atas orang-orang dengan jenis aktivitas yang sama. Tujuannya agar
terjalin kerjasama yang pada tahap selanjutnya diharapkan daya tawar mereka
meningkat. Untuk ikatan vertikal
diserahkan kepada mekanisme pasar, dimana otoritas pemerintah sulit menjangkaunya.
8.
Meskipun kelembagaan sudah
dibentuk, namun pembinaan yang dijalankan cenderung individual, yaitu hanya kepada pengurus. Pembinaan
kepada kontaktani memang lebih murah,
namun pendekatan ini tidak mengajarkan bagaimana meningkatkan kinerja
kelompok misalnya, karena tidak ada social learning approach.
9.
Pengembangan kelembagaan
selalu menggunakan jalur struktural, dan lemah dari pengembangan aspek
kulturalnya. Struktural organisasi dibangun lebih dahulu, namun tidak diikuti oleh
pengembangan aspek kulturalnya. Sikap berorganisasi belum tumbuh pada diri
pengurus dan anggotanya, meskipun wadahnya sudah tersedia.
Permasalahan yang dihadapi petani pada
umumnya adalah lemah dalam hal permodalan. Akibatnya tingkat penggunaan saprodi rendah, inefisien
skala usaha karena umumnya
berlahan sempit, dan karena terdesak masalah keuangan posisi tawar ketika panen lemah.
Selain itu produk yang dihasilkan petani relatif berkualitas rendah, karena umumnya budaya
petani di pedesaan dalam melakukan praktek pertanian masih berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan keluarga (subsisten), dan belum berorientasi pasar. Selain masalah internal
petani tersebut, ketersediaan faktor pendukung seperti infrastruktur, lembaga
ekonomi pedesaan, intensitas penyuluhan, dan kebijakan pemerintah sangat
diperlukan, guna mendorong usahatani dan meningkatkan akses petani terhadap pasar
(Saragih, 2002). Kesadaran yang perlu
dibangun pada petani adalah kesadaran berkomunitas/ kelompok yang tumbuh atas
dasar kebutuhan, bukan paksaan dan dorongan proyekproyek tertentu. Tujuannya adalah:
1.
untuk mengorganisasikan
kekuatan para petani dalam memperjuangkan hak-haknya,
2.
memperoleh posisi tawar dan
informasi pasar yang akurat terutama
berkaitan dengan harga produk pertanian dan
3.
berperan dalam negosiasi dan
menentukan harga produk pertanian yang diproduksi anggotanya (Masmulyadi, 2007).
Ada empat kriteria agar asosiasi petani
itu kuat dan mampu berperan aktif dalam memperjuangkan hak-haknya, yaitu:
1.
asosiasi harus tumbuh dari
petani sendiri,
2.
pengurusnya berasal dari
para petani dan dipilih secara berkala,
3.
memiliki kekuatan
kelembagaan formal dan
4.
bersifat partisipatif.
Dengan terbangunnya kesadaran seperti
diatas, maka diharapkan petani mampu berperan sebagai kelompok yang kuat dan mandiri, sehingga petani
dapat meningkatkan
pendapatannya dan memiliki akses pasar dan akses perbankan.
3.3 PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PETANI
Lembaga di pedesaan lahir untuk memenuhi
kebutuhan sosial masyarakatnya.
Sifatnya tidak linier, namun cenderung merupakan kebutuhan
individu anggotanya, berupa: kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan hubungan
sosial, pengakuan, dan pengembangan pengakuan. Manfaat utama lembaga adalah mewadahi
kebutuhan salah satu sisi
kehidupan sosial masyarakat, dan sebagai kontrol sosial, sehingga setiap orang dapat mengatur
perilakunya menurut kehendak masyarakat (Elizabeth dan Darwis, 2003).
Prinsip-prinsip yang harus dipenuhi oleh
suatu kelembagaan petani agar tetap
eksis dan
berkelanjutan adalah:
1.
Prinsip otonomi (spesifik
lokal).
Pengertian prinsip otonomi disini dapat
dibagi kedalam dua bentuk yaitu :
a.
Otonomi individu.
Pada tingkat rendah, makna dari prinsip otonomi adalah mengacu
pada individu sebagai perwujudan
dari hasrat untuk bebas yang melekat pada diri manusia sebagai salah satu anugerah
paling berharga dari sang pencipta (Basri, 2005). Kebebasan inilah yang
memungkinkan individu-individu menjadi otonom sehingga mereka dapat
mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang ada di dalam dirinya secara
optimal. Individu-individu yang otonom ini selanjutnya akan membentuk komunitas
yuang otonom, dan akhirnya bangsa yang mandiri serta unggul (Syahyuti,
2007).
b.
Otonomi desa (spesifik
lokal).
Pengembangan kelembagaan di pedesaan disesuaikan dengan potensi
desa itu sendiri (spesifik
lokal). Pedesaan di Indonesia, disamping bervariasi dalam kemajemukan sistem, nilai,
dan budaya; juga memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang dan
beragam pula. Kelembagaan, termasuk organisasi, dan perangkat-perangkat aturan
dan hukum memerlukan penyesuaian sehingga peluang bagi setiap warga masyarakat untuk bertindak sebagai
subjek dalam pembangunan yang berintikan
gerakan dapat tumbuh di semua bidang kehidupannya. Disamping itu, harus juga memperhatikann
elemen-elemen tatanan Yang hidup di desa,
baik yang berupa elemen lunak (soft element) seperti manusia dengan sistem nilai,
kelembagaan, dan teknostrukturnya, maupun yang berupa elemen keras (hard
element) seperti lingkungan alam dan sumberdayanya, merupakan identitas dinamis yang senantias
menyesuaikan diri atau tumbuh dan
berkembang (Syahyuti, 2007).
2.
Prinsip pemberdayaan.
Pemberdayaan
mengupayakan bagaiamana individu, kelompok, atau komunitas berusaha mengontrol
kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai
dengan keinginan mereka. Inti utama pemberdayaan adalah tercapainya kemandirian (Payne, 1997). Pemberdayaan berarti mempersiapkan
masyarakat desa untuk untuk memperkuat diri dan kelompok mereka dalam berbagai hal, mulai dari soal
kelembagaan, kepemimpinan, sosial
ekonomi, dan politik dengan menggunakan basis kebudayaan mereka sendiri
(Taylor dan Mckenzie, 1992). Pada proses pemberdayaan, ada dua prinsip dasar yang harus
dipedomani (Saptana, dkk, 2003) yaitu :
a.
Menciptakan ruang atau
peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan dirinya secara mandiri dan
menurut cara yang dipilihnya sendiri.
b.
Mengupayakan agar masyarakat
memiliki kemampuan untuk memanfaatkan ruang atau peluang yang tercipta tersebut.
Kebijakan
ini diterjemahkan misalnya di bidang ekonomi berupa peningkatan aksesibilitas
masyarakat terhadap faktor-faktor produksi dan pasar, sedangkan di bidang sosial politik
berupa tersedianya berbagai pilihan bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya. Pemberdayaan dan
pengembangan kelembagaan di pedesaan , meliputi :
a.
Pola pengembangan pertanian
berdasarkan luas dan intensifikasi lahan, perluasan kesempatan kerja dan berusaha yang dapat memperluas
penghasilan.
b.
Perbaikan dan penyempurnaan
keterbatasan pelayanan sosial (pendidikan, gizi, kesehatan, dan lain-lain).
c.
Program memperkuat prasarana
kelembagaan dan keterampilan mengelola kebutuhan pedesaan.
Untuk
keberhasilannya diperlukan kerjasama antara : administrasi lokal, pemerintah lokal,
kelembagaan/organisasi yang beranggotakan masyarakat lokal, kerjasama usaha,
pelayanan dan bisnis swasta (tiga pilar kelembagaan) yang dapat diintegrasikan ke
dalam pasar baik lokal, regional dan global (Uphoff, 1992). Pemberdayaan
kelembagaan menuntut perubahan operasional tiga pilar kelembagaan (Elizabeth,
2007a):
a.
Kelembagaan lokal
tradisional yang hidup dan eksisi dalam komunitas (voluntary sector).
b.
Kelembagaan pasar (private
sector) yang dijiwai ideologi ekonomi terbuka.
c.
Kelembagaan sistem politik
atau pengambilan keputusan di tingkat publik (public sector).
Ketiga
pilar yang menopang kehidupan dan kelembagaan masyarakat di pedesaan tersebut perlu
mereformasikan diri dan bersinergis agar sesuai dengan kebutuhan yang selalu mengalami
perkembangan. Inilah yang dimaksud dengan tranformasi kelembagaan sebagai upaya
pemberdayaannya, yang dilakukan tidak hanya secara internal, namun juga tata
hubungan dari keseluruhan kelembagaan tersebut. Disisi lain, pemberdayaan
kelembagaan pada masa depan perlu diarahkan agar berorientasi pada:
a)
Pengusahaan komoditas
(pangan/non pangan) yang paling menguntungkan,
b)
Skala usaha ekonomis dan
teknologi padat karya,
c)
Win-win mutualy dengan kemitraan
yang kolehial,
d) Tercipta interdependensi hulu-hilir,
e)
Modal berkembang dan kredit
melembaga (bank, koperasi, petani),
f)
Koperatif, kompetitif dan
transparan melalui sistem informasi bisnis,
g)
Memanfaatkan peluang di
setiap subsistem agribisnis, serta.
h)
Dukungan SDM yang berpendidikan,
rasional, mandiri, informatif, komunikatif, dan partisipatif (inovatif)
(Elizabeth, 2007b).
Beberapa
kunci dalam pengembangan kelembagaan untuk pemberdayaan adalah: adanya akses kepada
informasi, sikap inklusif dan partisipasi, akuntabilitas, dan pengembangan
organisasi lokal (Saptana, dkk, 2003).
3.
Prinsip kemandirian lokal.
Pendekatan
pembangunan melalui cara pandang kemandirian lokal mengisyaratkan bahwa semua tahapan
dalam proses pemberdayaan harus dilakukan secara desentralisasi. Upaya pemberdayaan
yang berbasis pada pendekatan desentralisasi akan menumbuhkan kondisi
otonom, dimana setiap komponen akan tetap eksis dengan berbagai keragaman
(diversity) yang dikandungnya (Amien, 2005). Kegagalan pengembangan
kelembagaan petani selama ini salah satunya akibat mengabaikan kelembagaan
lokal yang hidup di pedesaan, karena dianggap tidak memiliki jiwa ekonomi yang
memadai. Ciri kelembagaan pada masyarakat tradisional adalah dimana aktivitas ekonomi melekat pada
kelembagaan kekerabatan dan
komunitas. Pemenuhan ekonomi merupakan tanggungjawab kelompok-kelompok komunal
genealogis. Ciri utama kelembagaan tradisional adalah sedikit kelembagaan,
namun banyak fungsi. Beda halnya dengan pada masyarakat modern yang
dicirikan oleh munculnya banyak kelembagaan dengan fungsi-fungsi yang spesifik
dan sempit-sempit (Saptana, dkk, 2003). Kemandirian lokal
menunjukkan bahwa pembangunan lebih tepat bila dilihat sebagai proses
adaptasi-kreatif suatu tatanan masyarakat dari pada sebagai serangkaian upaya
mekanistis yang mengacu pada satu rencana yang disusun secara sistematis.
Kemandirian lokal juga menegaskan bahwa organisasi seharusnya dikelola dengan
lebih mengedepankan partisipasi dan dialog dibandingkan semangat
pengendalian yang ketat sebagaimana dipraktekkan selama ini (Amien, 2005).
BAB
IV
Kesimpulan
Ekonomi
pertanian memiliki peranan yang penting dalam pembangunan ekonomi di Indonesia.
Peranan tersebut antara lain adalah
1. penyedia
bahan pangan yang diperlukan masyarakat untuk menjamin ketahanan pangan,
2. penyedia bahan baku bagi sektor industri,
3. sebagai
pasar potensial bagi produk-produk industri, contohnya: industri pupuk dan
pestisida,
4. sumber
tenaga kerja dan pembentukan modal yang diperlukan bagi pembangunan sektor
lain,
5. sumber
perolehan devisa karena produk pertanian merupakan komoditi ekspor,
6. mengurangi
kemiskinan,
7. pelestarian
lingkungan hidup dan kontributor pembangunan pedesaan (Tambunan, 2001).
Pengukuran atas peranan suatu sektor dalam perekonomian dapat dilihat dari
penyerapan tenaga kerja, kontribusi terhadap penciptaan PDB (produk domestik
bruto), kontribusi terhadap ekspor serta kontribusi terhadap konsumsi
masyarakat.
Karena itu pembangunan
pertanian di Indonesia perlu dimaksimalkan.
minta dapus doong, kok ga masukin dapus sih
BalasHapus